Rabu, 31 Oktober 2012

artikel psikologi " kesurupan massal generasi muda yang terancam"

Seakan tak pernah berhenti, kasus kesurupan terus saja melanda remaja kita. Baru-baru ini, fenomena unik itu terjadi lagi pada pelajar SMP Watampone, Sulawesi Selatan, akhir November lalu. Puluhan pelajar mendadak kesurupan secara serempak. Bahkan beberapa guru juga mengalami hal sama, ketika mencoba menenangkan siswanya itu. Tahun ini saja tercatat ratusan kasus kesurupan dialami sejumlah pelajar di berbagai daerah di nusantara. Selain pelajar, kesurupan juga pernah terjadi pada sekelompok buruh di beberapa pabrik. Malah pernah pula dialami sejumlah tahanan wanita di salah satu LP Pekanbaru, Mei lalu.
Secara umum kesurupan mesti dilihat dari berbagai sudut pandang. Sosial, politik, budaya, agama, ekonomi, keamanan dan psikologi. Dalam kajian psikologi setidaknya dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat kasus kesurupan, yakni psikoanalisa dan psikologi transpersonal. Menurut psikoanalisa, kesurupan bisa terjadi bilamana ada ketegangan antara rasa sadar dan tak sadar. Ketegangan ini  terjadi bila apa yang diinginkan dalam kondisi tak sadar, tidak sesuai dengan realita yang ada. Ketegangan ini akan memicu konflik, yang sifatnya potensial (diam) Baru ketika ada stimulus, baik dari luar maupun dalam, akan muncul dengan caranya masing-masing, sesuai dengan nilai dan karakter seseorang. Bila berkepribadian klenis, maka wujudnya klenik, salah satunya adalah kesurupan. Yang berkepribadian logis saintis, biasanya sangat matematis, wujud negatif dari penyelesaian konfliknya, adalah bunuh diri. Sedangkan yang religius biasa menjadi fanatisme, seperti teroris dan penggila tuhan, lainnya. 

Sedang dari perspektif psikologi transpersonal, kesurupan dikaji lebih secara kejiwaan yang inklusif.  Transpersonal diartikan sebagai pengejewantahan pribadi-pribadi yang cenderung bias. Bias di sini juga merupakan bentuk dari konflik yang ditekan, baik secara sadar maupun tak sadar. Sama seperti psikonalisis, wujud negatif transpersonal, juga terjadi karena adanya ketegangan akibat ketidakharmonisan id (tak sadar) ego (sadar) dan dikombain dengan nilai-nilai yang dianut (super ego).

Dalam arti, dari sudut pandang psikologi, kesurupan dianggap sebagai jalan keluar alternatif konflik yang lolos dari ketiganya, (id, ego, super ego). Inilah yang saya sebut bias. Karenanya secara psikologis kesurupan didudukkan sebagai status quo dari jiwa-jiwa yang “terluka” baik oleh pengalaman, impresi dan dogma-dogma buruk yang diterimanya selama ini.  Menurut Psikolog, Setiyo Purwanto, S. Psi, MSi, orang yang kerasukan bisa disebabkan pertama keadaan disosiasi yakni saat seseorang seakan terpisah dari dirinya. Kedua karena hysteria, yaitu saat seseorang tak dapat mengendalikan dirinya. Terakhir akibat split personality, saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang dimunculkan oleh “pribadi” yang berbeda. Meski begitu, penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan budaya.

Kesurupan juga bagian dari fenomena budaya. Kesurupan banyak dipengaruhi oleh model-model kebudayaan tertentu. Di Indonesia, kesurupan memiliki kekhasan yang sangat berbeda dengan belahan dunia lain. Fenomena ini sering dikaitkan dengan masa lalu budaya nusantara yang erat dengan praktik-praktik animisme  dan sejenisnya. ada sekitar (2000) animisme di Indonesia, ditandai keyakinan terhadap roh halus dan roh nenek moyang yang dianggap masih dapat berinteraksi dengan alam manusia. Pola budaya mereka yang tinggal di perkampungan. Sebagai bagian dari pengalaman yang membentuk karakter dan kepribadian seseorang, sadar maupun tak sadar, budaya Indonesia memberikan ruang bagi terpeliharanya aspek-aspek yang merangsang seseorang untuk kerasukan. Modernisasi nyatanya belum berfungsi secara penuh. Ia masih dipakai sebagai perangkat untuk mempermudah hidup dan style. Esensinya belum diterapkan dalam pola pikir dan prinsip hidup. Modernisasi itu belum mampu mengikis habis, nilai-nilai lama yang cenderung klenis. Bahkan bagi sebagian orang, meski hidup di zaman modern, nilai-nilai yang lama tetap sengaja dipelihara sekalipun dengan praktik-praktik yang lebih dinamis dan moderat. Hal ini terjadi karena banyak indikasi penyebabnya seperti contoh dibawah ini :

Remaja yang “Murung”
Tidak bisa dipungkiri, kesurupan massal yang dialami para pelajar terjadi di sekolah. Karenanya faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan sekolah itu, penting untuk dipertimbangkan ketika mengkaji fenomena ini. Aspek-aspek itu antara lain; sistem belajar, sikap mengajar para guru, aturan-aturan sekolah, kondisi umumnya para siswi, posisi geografis sekolah dan juga situasi sosial masyarakat sekita sekolah. Oleh sebab itu, fenomena kesurupan di sekolah harusnya memunculkan bahan retrospeksi bagi kalangan pendidik dan orang tua. Sangat mungkin,

kesurupan bertitik awal dari terlalu tingginya beban akademis siswa. Jam pelajaran yang begitu panjang, muatan pelajaran dengan tingkat kesulitan yang tinggi, masa ujian yang menegangkan, gaya mengajar guru, substansi kurikulum yang lebih dominan pada pengolahan daya pikir serta mengesampingkan pentingnya olah rasa, ekspektasi orang tua, serta penambahan jam belajar lewat kursus, dan sejenisnya bisa mempersempit makna aktivitas belajar sebagai sebuah totalitas pengalaman hidup. Apalagi jika stres di rumah dan lingkungan pergaulan siswa juga dimasukkan, akan semakin dahsyat tekanan psikologis yang harus diatasi para siswa. Belajar dirasakan siswa sebagai rutinitas keterpaksaan. Proses belajar yang membosankan berpengaruh kontraproduktif bagi anak didik sehingga motivasi belajar menurun.

Selain itu factor usia juga memengaruhi. Kebanyakan yang mengalami kesurupan adalah siswa sekolah menengah. Secara usia mereka tengah berada pada tahap usia remaja yang kerap diidentikkan sebagai masa penuh badai dan tekanan (storm and stress). Seperti diketahui usia remaja secara psikologis memang sedang berada dalam kondisi rawan.

Kerasukan di sekolah menjadi peristiwa yang semakin menarik untuk ditelaah lebih jauh karena berlangsung secara masal. Umumnya pelajar yang mengalami kesurupan berjenis perempuan.

Berdasar penelitian Gaw, Ding, Levine, dan Gaw (1998) di Tiongkok. Hal itu berhubungan dengan kepekaan perempuan yang lebih tinggi dalam menerima sugesti. suggestibility atau kepekaan individu terhadap sugesti, karenanya mereka jadi lebih mudah tertular kesurupan setelah menyaksikan rekan-rekan mereka yang kesurupan. Untuk mengatasi fenomena itu, hal yang paling mudah yang bisa dilakukan guru misalnya, adalah dengan menciptakan proses belajar-mengajar yang asyik, membangun komunikasi guru dengan siswa serta mendorong para siswa untuk lebih berpikir positif akan masa depannya
Tugas Dosen





1 komentar: