Seakan tak pernah berhenti, kasus
kesurupan terus saja melanda remaja kita. Baru-baru ini, fenomena unik
itu terjadi lagi pada pelajar SMP Watampone, Sulawesi Selatan, akhir
November lalu. Puluhan pelajar mendadak kesurupan secara serempak.
Bahkan beberapa guru juga mengalami hal sama, ketika mencoba
menenangkan siswanya itu. Tahun ini saja tercatat ratusan kasus
kesurupan dialami sejumlah pelajar di berbagai daerah di nusantara.
Selain pelajar, kesurupan juga pernah terjadi pada sekelompok buruh di
beberapa pabrik. Malah pernah pula dialami sejumlah tahanan wanita di
salah satu LP Pekanbaru, Mei lalu.
Secara
umum kesurupan mesti dilihat dari berbagai sudut pandang. Sosial,
politik, budaya, agama, ekonomi, keamanan dan psikologi. Dalam kajian
psikologi setidaknya dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat
kasus kesurupan, yakni psikoanalisa dan psikologi transpersonal.
Menurut psikoanalisa, kesurupan bisa terjadi bilamana ada ketegangan
antara rasa sadar dan tak sadar. Ketegangan ini terjadi bila apa yang
diinginkan dalam kondisi tak sadar, tidak sesuai dengan realita yang
ada. Ketegangan ini akan memicu konflik, yang sifatnya potensial (diam)
Baru ketika ada stimulus, baik dari luar maupun dalam, akan muncul
dengan caranya masing-masing, sesuai dengan nilai dan karakter
seseorang. Bila berkepribadian klenis, maka wujudnya klenik, salah
satunya adalah kesurupan. Yang berkepribadian logis saintis, biasanya
sangat matematis, wujud negatif dari penyelesaian konfliknya, adalah
bunuh diri. Sedangkan yang religius biasa menjadi fanatisme, seperti
teroris dan penggila tuhan, lainnya.
Sedang dari perspektif
psikologi transpersonal, kesurupan dikaji lebih secara kejiwaan yang
inklusif. Transpersonal diartikan sebagai pengejewantahan
pribadi-pribadi yang cenderung bias. Bias di sini juga merupakan bentuk
dari konflik yang ditekan, baik secara sadar maupun tak sadar. Sama
seperti psikonalisis, wujud negatif transpersonal, juga terjadi karena
adanya ketegangan akibat ketidakharmonisan id (tak sadar) ego (sadar)
dan dikombain dengan nilai-nilai yang dianut (super ego).
Dalam
arti, dari sudut pandang psikologi, kesurupan dianggap sebagai jalan
keluar alternatif konflik yang lolos dari ketiganya, (id, ego, super
ego). Inilah yang saya sebut bias. Karenanya secara psikologis
kesurupan didudukkan sebagai status quo dari jiwa-jiwa yang “terluka”
baik oleh pengalaman, impresi dan dogma-dogma buruk yang diterimanya
selama ini. Menurut Psikolog, Setiyo Purwanto, S. Psi, MSi, orang yang
kerasukan bisa disebabkan pertama keadaan disosiasi yakni saat
seseorang seakan terpisah dari dirinya. Kedua karena hysteria, yaitu
saat seseorang tak dapat mengendalikan dirinya. Terakhir akibat split
personality, saat pada diri seseorang tampil beragam perilaku yang
dimunculkan oleh “pribadi” yang berbeda. Meski begitu, penjelasan ini seringkali mengalami benturan dengan kenyataan-kenyataan
budaya.
Kesurupan juga bagian dari fenomena budaya. Kesurupan
banyak dipengaruhi oleh model-model kebudayaan tertentu. Di Indonesia,
kesurupan memiliki kekhasan yang sangat berbeda dengan belahan dunia
lain. Fenomena ini sering dikaitkan dengan masa lalu budaya nusantara
yang erat dengan praktik-praktik animisme dan sejenisnya. ada sekitar (2000) animisme di Indonesia, ditandai keyakinan terhadap roh
halus dan roh nenek moyang yang dianggap masih dapat berinteraksi dengan
alam manusia. Pola budaya mereka yang tinggal di perkampungan. Sebagai
bagian dari pengalaman yang membentuk karakter dan kepribadian
seseorang, sadar maupun tak sadar, budaya Indonesia memberikan ruang
bagi terpeliharanya aspek-aspek yang merangsang seseorang untuk
kerasukan. Modernisasi nyatanya belum berfungsi secara penuh. Ia masih
dipakai sebagai perangkat untuk mempermudah hidup dan style. Esensinya
belum diterapkan dalam pola pikir dan prinsip hidup. Modernisasi itu
belum mampu mengikis habis, nilai-nilai lama yang cenderung klenis.
Bahkan bagi sebagian orang, meski hidup di zaman modern, nilai-nilai
yang lama tetap sengaja dipelihara sekalipun dengan praktik-praktik
yang lebih dinamis dan moderat. Hal ini terjadi karena banyak indikasi penyebabnya seperti contoh dibawah ini :
Remaja yang “Murung”
Tidak
bisa dipungkiri, kesurupan massal yang dialami para pelajar terjadi di
sekolah. Karenanya faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan
sekolah itu, penting untuk dipertimbangkan ketika mengkaji fenomena
ini. Aspek-aspek itu antara lain; sistem belajar, sikap mengajar para
guru, aturan-aturan sekolah, kondisi umumnya para siswi, posisi
geografis sekolah dan juga situasi sosial masyarakat sekita sekolah.
Oleh sebab itu, fenomena kesurupan di sekolah harusnya memunculkan
bahan retrospeksi bagi kalangan pendidik dan orang tua. Sangat mungkin,
kesurupan bertitik awal dari terlalu tingginya beban akademis
siswa. Jam pelajaran yang begitu panjang, muatan pelajaran dengan
tingkat kesulitan yang tinggi, masa ujian yang menegangkan, gaya
mengajar guru, substansi kurikulum yang lebih dominan pada pengolahan
daya pikir serta mengesampingkan pentingnya olah rasa, ekspektasi orang
tua, serta penambahan jam belajar lewat kursus, dan sejenisnya bisa
mempersempit makna aktivitas belajar sebagai sebuah totalitas
pengalaman hidup. Apalagi jika stres di rumah dan lingkungan pergaulan
siswa juga dimasukkan, akan semakin dahsyat tekanan psikologis yang
harus diatasi para siswa. Belajar dirasakan siswa sebagai rutinitas
keterpaksaan. Proses belajar yang membosankan berpengaruh
kontraproduktif bagi anak didik sehingga motivasi belajar menurun.
Selain
itu factor usia juga memengaruhi. Kebanyakan yang mengalami kesurupan
adalah siswa sekolah menengah. Secara usia mereka tengah berada pada
tahap usia remaja yang kerap diidentikkan sebagai masa penuh badai dan
tekanan (storm and stress). Seperti diketahui usia remaja secara
psikologis memang sedang berada dalam kondisi rawan.
Kerasukan
di sekolah menjadi peristiwa yang semakin menarik untuk ditelaah lebih
jauh karena berlangsung secara masal. Umumnya pelajar yang mengalami
kesurupan berjenis perempuan.
Berdasar penelitian Gaw, Ding,
Levine, dan Gaw (1998) di Tiongkok. Hal itu berhubungan dengan kepekaan
perempuan yang lebih tinggi dalam menerima sugesti. suggestibility atau
kepekaan individu terhadap sugesti, karenanya mereka jadi lebih mudah
tertular kesurupan setelah menyaksikan rekan-rekan mereka yang
kesurupan. Untuk mengatasi fenomena itu, hal yang paling mudah yang
bisa dilakukan guru misalnya, adalah dengan menciptakan proses
belajar-mengajar yang asyik, membangun komunikasi guru dengan siswa
serta mendorong para siswa untuk lebih berpikir positif akan masa
depannya
Tugas Dosen
bisa lampirin daftar pustakanya G??
BalasHapus